Tidak ada kalimat "ibu kita Kartini" dalam lirik lagu yang ditulis oleh WR. Soepratman.
Setelah
meliput Kongres Perempuan I yang digelar di Yogyakarta pada 1928, WR.
Soepratman terinspirasi untuk menulis lagu tentang Kartini. Soepratman
menulis lirik yang bunyinya (dan judulnya) "Raden Ajeng Kartini....",
bukan "Ibu kita Kartini...".
Di masa Sukarno, judul dan lirik itu
diubah menjadi "Ibu kita Kartini". Pengubahan judul dan lirik lagu itu
tak lain dan tak bukan untuk menghilangkan elemen feodalisme dari narasi
Kartini -- dan dengan itulah sebenarnya dilakukan sebentuk kekerasan
terhadap kisah hidup Kartini.
Feodalisme dan kolonialisme adalah
dua simpul yang jadi lawan utama gerakan-gerakan kiri pasca Indonesia
merdeka sampai kejatuhan Soekarno. Menghapuskan embel-embel Raden Ajeng
pada Kartini adalah bagian dari pertarungan politik dan ideologi di masa
itu (lihat bagian ketiga artikel saya).
Yang
tidak pernah diduga oleh Sukarno dan gerakan-gerakan kiri di masa itu
adalah Orde Baru dengan tidak kalah canggihnya mengambil-oper dan
memodifikasi narasi "ibu kita Kartini" ini untuk mengkreasi tafsir
mereka terhadap Kartini dan perempuan Indonesia.
Perlu dicatat
lebih dulu bahwa Sukarno dan gerakan kiri di masa itu juga
berkepentingan dengan wacana "ibu". Di tengah kampanye anti-nekolim yang
jadi kosa kata utama Sukarno masa itu, "ibu" diletakkan sebagai bagian
dari gerakan revolusioner yang bukan hanya sangat sadar politik, tapi
juga progresif.
Lagi-lagi Pramoedya ambil bagian dalam
pertarungan politik-ideologi ini. Pada 1956, dia menerjemahkan dan
menerbitkan novel Maxim Gorky yang berjudul "Ibunda". Novel ini
menceritakan seorang janda yang anaknya menjadi aktivis bawah tanah.
Alih-alih melarang, sang ibu malah menyokong kegiatan anaknya dan bahkan
ikut terlibat dalam aktivitas revolusioner.
Novel ini bisa
menggambarkan bagaimana bandul politik saat itu memandang peran ibu:
sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan menuntaskan revolusi yang
belum selesai. Ibu yang mau ke luar dari kasur, dapur dan sumur untuk
ikut memanggul tugas revolusi.
Orde Baru tidak menghapus konsep
"ibu" dari narasi Kartini, tapi memodifikasinya sedemikian rupa dengan
cara mengirim "ibu" dan Kartini kembali ke dalam rumah, fokus mengurus
kasur, dapur, sumur, dan mendampingi anak dan suami. Jika pun harus ke
luar rumah untuk beraktivitas/berorganisasi, itu harus bersama
organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) atau Dharma Wanita.
Tidak
ada alternatif lain. Gerwani sudah dihancurkan secara fisik maupun
organisasi. Secara fisik anggotanya ditangkap, dipenjara dan banyak
mengalami pelecehan seksual di dalam tahanan. Secara organisasi dilarang
dan dicitrakan sebagai lonte-lonte tak tahu adat.
Sementara
Perwari, organisasi yang dipimpin seorang progresif bernama Soejatin
Kartowijono, yang sebelumnya sangat keras menentang poligami dan gigih
berbicara tentang pemiskinan perempuan, pelan tapi pasti dimandulkan.
Dan pada 1975, secara resmi Perwari "dikandangkan" dengan dijadikan
organisasi di bawah Golkar.
Narasi Kartini pun mengalami
penyuntingan untuk yang kesekian kalinya. Semua teks resmi negara,
termasuk yang menjadi bahan ajar di sekolah, membabat habis kisah-kisah
tragis Kartini. Tidak ada cerita tentang Kartini sebagai korban
poligami. Di buku ajar saat itu, mustahil mendapatkan kisah bagaimana
Kartini takluk secara tragis terhadap poligami ini.
Ini bisa
dimaklumi karena Orde Baru, tentu saja berkat campur tangan Sang Nyonya
Besar Siti Hartinah, sangat membenci poligami. Pemerintah mempersulit
bagi pegawai pemerintah yang ingin berpoligami. Banyak syarat yang harus
dipenuhi: mulai izin dari istri pertama, surat keterangan penghasilan
dan izin dari pejabat serta atasan.
Maka membabat habis cerita
Kartini sebagai korban poligami menjadi keharusan. Apa kata dunia jika
pahlawan yang jadi simbol ibu yang sempurna itu justru menjadi korban
poligami yang saat itu sangat dibenci Sang nyonya Besar?
Maka
jika Gerwani dan organisasi Women's International Democratic Federation
pernah menyandingkan potret Kartini dengan Clara Zetkin (perempuan
komunis Jerman), di masa ini potret Kartini disandingkan dengan Sang
Nyonya Besar.
Suharto menyempurnakan pensejajaran antara Kartini
dengan istrinya itu pada 30 Juli 1996 dengan mengeluarkan Kepres yang
menetapkan Siti Hartinah sebagai pahlawan nasional. Bayangkan: wafat
pada 28 April 1996, 32 hari kemudian almarhum langsung jadi Pahlawan
Nasional.
Inilah Kartini yang disunting dan dimodifikasi oleh
Orde Baru. Kartini yang sepenuhnya diletakkan sebagai ibu", bukan
perempuan. Dan dengan itulah posisi perempuan dikonstruksi semata
sebagai pendamping lelaki/suami, sebagai pengasuh anak dan pengayom
keluarga.
Tidak ada "perempuan", yang ada hanyalah "ibu" dan
"istri". Maka perempuan yang baik haruslah "ibu yang baik" dan "istri
yang setia". Perempuan yang berkeliaran di jalanan untuk menuntut hak
adalah perempuan binal yang melanggar kodrat dan fitrahnya -- atau
bahkan disudutkan sebagai penerus lonte-lonte Gerwani.
Inilah
yang terjadi dengan Karlina Leksono, dkk., dari kelompok Suara Ibu
Peduli yang berunjukrasa di Bunderan HI pada awal 1998. Mereka memprotes
kenaikan harga sembako dan harga susu. Mereka ditangkap karena dianggap
mengganggu ketertiban umum.
Julia Suryakusuma menyebut konsep
perempuan ala Orde Baru ini sebagai "ibuisme negara". Dalam konsep ini,
perempuan diletakkan melulu dalam fungsi "reproduksi" dan "melayani".
Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) mengkanonisasi (standarisasi) perempuan itu
berdasar 5 fungsi: meneruskan keturunan, sebagai ibu yang mendidik
anak-anaknya, sebagai pengurus keluarga, penambah penghasilan suami, dan
anggota masyarakat.
Fungsi kelima sebagai anggota masyarakat ini
oleh Orde Baru distandarkan dengan keterlibatan dalam
organisasi-organisasi resmi, seperti PKK dan Dharma Wanita. Dan dengan
itulah, perempuan dan ibu dipaksa menjadi bagian operasi kekuasaan guna
memobilisasi suara Golkar dalam Pemilu.
Di level elit, biasanya
istri dari pejabat-pejabat tinggi, perempuan-perempuan ini menampilkan
gaya hidup mewah, dengan pakaian dan perhiasan yang wah dan badan yang
semerbak mewangi parfum dari luar negeri. Tiap kali suaminya yang
pejabat tinggi bepergian, ke daerah atau ke luar negeri, istri-istri ini
ikut wara-wiri. Saskia Weiringa, peneliti spesialis sejarah gerakan
perempuan di Indonesia, mengungkapkan bagaimana orang-orang yang tak
suka dengan polah itu menyindirnya dengan ejekan "kuntilanak wangi".
Perlawanan
terhadap narasi Kartini ala Orde Baru ini bukannya tidak dilakukan.
Menariknya, perlawanan ini seringkali mendompleng perayaan Hari Kartini.
Saya akan contohkan beberapa.
Pertama, tulisan Prof. Harsja W.
Bachtiar pada 1979, "Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita",
bukan hanya menggugat penokohan dan mitologisasi Kartini, tapi juga
menyebutkan nama-nama lain yang dianggapnya lebih layak: Ratu Tajul Alam
Safiatun dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Uraian
Prof. Harsja itu sampai sekarang masih dikutip oleh siapa pun yang
merasa tak setuju dengan penokohan, kepahlawan dan mitologisasi Kartini.
Dan, perlu digaris-bawahi: tulisan Prof. Harsja itu diterbitkan dalam
rangka mengenang 1 Abad Kartini.
Kedua, banyak demonstrasi
dilakukan di akhir-akhir kekuasaan Soeharto dilakukan juga di Hari
Kartini. Pada 21 April 1995, para aktivis perempuan berunjukrasa
menuntut pembubaran Menteri Peranan Wanita yang dianggap tak berhasil
membela kepentingan perempuan.
Pada 21 April 1998, sebulan jelang
lengsernya Soeharto, demonstrasi meledak di mana-mana. Mahasiswa
memanfaatkan momen Hari Kartini untuk memperluas jangkauan aksinya ke
kaum ibu dan perempuan.
Dengan itulah, publik mencoba mengambil-alih monopoli atas narasi Kartini dari genggaman Orde Baru. Dan berhasil.
Minggu, 21 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar